Tuesday, November 30, 2010

4 Bata yg ke-sempurna-an

Saat liburan panjang sekolah, seorang mahasiswa pulang ke kampung halamannya. Di sana, tengah dimulai pembangunan tempat ibadah, dan tentunya, sangat diperlukan tenaga sukarela untuk membantu.


Si pemuda itu pun dengan senang hati ikut ambil bagian kegiatan tersebut. Dengan bersemangat, ia mulai belajar mengaduk semen, meletakkan bata, melapisi dengan semen, kemudian menaruh bata, menyemen lagi, merapikan, demikian seterusnya. Dengan semangat menggebu, akhirnya, setengah tembok berhasil diselesaikan. Lalu dengan perasaan puas, walaupun sedikit lelah, dia berdiri mengagumi tembok hasil kerja pertamanya.


Tiba-tiba, dia melihat sesuatu yang janggal. Ada empat batu bata pertama yang tersusun tidak rapi! Keempat batu bata itu tampak lebih menonjol dan miring di antara batu bata lainnya yang tersusun rapi. Timbul perasaan kecewa dan tidak puas atas hasil kerjanya. Bergegas, ditemuinya sang pemuka agama untuk mendiskusikan masalah yang mengganggu pikirannya.


"Lihat Pak, batu bata pertama yang saya pasang kurang rapi sehingga mengganggu keindahan seluruh tembok di atasnya. Tolong Pak, beri kesempatan kepada saya untuk memperbaikinya dengan merobohkan dan memasang ulang batu-batu bata itu. Saya berjanji pasti akan mengerjakan sebaik-baiknya sampai selesai."


Namun, usulannya itu ditolak. "Tidak ada yang perlu diperbaiki, Nak. Tembok sudah naik setengah, tidak perlu dirobohkan hanya gara-gara empat bata yang kurang rapi. Teruskan saja pekerjaanmu hingga selesai," ujar si pemuka agama.

Akhirnya, meski merasa kecewa dan tidak puas, si pemuda mampu menyelesaikan keseluruhan tembok tersebut. Namun, setiap kali melewati batu bata yang kurang sempurna itu, selalu timbul rasa tidak puas dan bersalah yang mengusiknya. Ia secepatnya berlalu, pura-pura tidak melihat, bahkan sengaja berjalan memutar untuk menghindari pemandangan bata miring tersebut. Sebab, setiap kali melewatinya, ia merasa diingatkan pada kesalahan yang telah diperbuatnya. Ia menganggap, kesalahan itu akan dilihat banyak orang yang lewat di sana.


Sampai suatu hari, ada kunjungan seorang pemimpin dari ibukota. Si anak muda mendapat tugas mendampingi mereka berkeliling di tempat itu. Tiba-tiba sang pemimpin menghentikan langkah menatap tembok di sana dan berkata, "Wah, dinding ini indah sekali."


Dengan terkejut, si pemuda lantas bertanya, "Apanya yang indah, Pak? Apakah Bapak tidak melihat empat batu bata yang miring dan mengganggu kesempurnaan seluruh tembok ini?"


"Oh ya, saya melihat empat batu bata itu, tetapi saya juga melihat ratusan batu bata lainnya yang bagus! Karena ketidaksempurnaan seperti katamu itu anak muda, membuat dinding ini justru tampak indah untuk dinikmati, bukan sekadar dinding kosong yang rata."


Sejenak si anak muda terpana. Untuk pertama kalinya, sejak tembok itu berdiri, pemuda itu melihat tembok yang sama, dengan kesadaran yang berbeda. Sebelumnya, matanya selalu memperhatikan kesalahan yang telah dilakukan hingga ia selalu ingin menghancurkan seluruh dinding. Dia tidak menyadari tumpukan batu bata yang bagus dan sempurna yang jauh lebih banyak jumlahnya. Kebaikan yang banyak dari hasil kerjanya itu, seolah tertutupi kesalahan kecil yang ia lakukan sebelumnya.


Netter yang luar biasa,


Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Sebab, kita semua hidup dengan aneka keterbatasan. Setiap manusia, Anda dan saya, tentu memiliki "bata" yang jelek dan "bata" yang bagus di kehidupan. Ini mengingatkan saya pada sebuah pepatah, tak ada gading yang tak retak. Dalam sebuah keindahan, pasti terdapat kekurangsempurnaan.


Kadang, tanpa sadar kita melakukan kesalahan, tetapi dari sana kita justru bisa belajar tentang sebuah kebenaran. Tak jarang, kita juga mengalami kegagalan, agar bisa merasakan nikmatnya sebuah keberhasilan. Karena itu, tak perlu malu dengan kesalahan di masa lalu. Jangan pula patah semangat saat kegagalan mendera. Sebab, di balik semua itu, kita bisa belajar sesuatu.


Kesadaran akan keterbatasan sebaiknya dapat menjadi pemacu semangat kita untuk terus melakukan perbaikan dalam segenap aspek kehidupan. Bukan saatnya lagi kita meratapi kekurangan, tapi justru dengan keterbatasan itu, kita bisa terus belajar untuk memaksimalkan kelebihan yang sudah ada guna membangun masa depan.

adopted from: Andrie Wongso

Saturday, November 27, 2010

Beware of KELOMPOK 99!!

Ideologi Kelompok ini telah mengakibatkan terciptanya banyak kekacauan, kerusakan dan pertumpahan darah diseluruh dunia. Oleh karena itu sangat penting untuk mengetahui apa itu Kelompok 99 agar kita bisa mengetahui anggota Kelompok ini. untuk memahami keberadaan dan tindak-tanduk mereka disekitar kita, mari baca kisah berikut ini, karena siapa tahu anda salah satunya :

Jaman dahulu kala, hiduplah seorang Raja. Raja ini seharusnya puas dengan kehidupannya, dengan segala harta benda dan kemewahan yang ia miliki. Tapi Raja ini tidak seperti itu. Sang Raja selalu bertanya-tanya mengapa ia tidak pernah puas dengan kehidupannya. Tentu saja, ia memiliki perhatian semua orang kemana pun ia pergi, menghadiri jamuan makan malam dan pesta yang mewah, tetapi, ia merasa ada sesuatu yang kurang dan ia tidak tahu apa sebabnya.

Suatu hari, sang Raja bangun lebih pagi dari biasanya dan memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar istananya. Sang Raja masuk ke dalam ruang tamunya yang luas dan berhenti ketika ia mendengarkan seseorang bernyanyi dengan riang… dan perhatiannya tertuju kepada salah satu pembantunya. .. yang bersenandung gembira dan wajahnya memancarkan sukacita serta kepuasan. Hal ini menarik perhatian sang Raja dan ia pun memanggil si hamba masuk ke dalam ruangannya.

Pria ini, si hamba, masuk ke dalam ruangan sang Raja seperti yang telah diperintahkan. Lalu sang Raja bertanya mengapa si hamba begitu riang gembira. Kemudian, si hamba menjawab,

“Yang Mulia, diri saya tidaklah lebih dari seorang hamba, namun apa yang saya peroleh cukup untuk menyenangkan istri dan anak-anak saya. Kami tidak memerlukan banyak, sebuah atap di atas kepala kami dan makanan yang hangat untuk mengisi perut kami. Istri dan anak-anak saya adalah sumber inspirasi saya, mereka puas dengan apa yang bisa saya sediakan walaupun sedikit. Saya bersukacita karena mereka bersukacita. “

Mendengar hal tersebut, sang Raja menyuruh si hamba keluar dan kemudian memanggil asisten pribadinya masuk ke dalam ruangan. Sang Raja berusaha mengkaji perasaan pribadinya dan mengkaitkan dengan kisah yang baru saja didengarnya, berharap dirinya dapat menemukan suatu alasan mengapa ia seharusnya dapat merasa puas dengan apa yang dapat diperoleh dengan sekejap tetapi tidak, sedangkan hambanya hanya memperoleh sedikit harta tetapi memiliki rasa kepuasan yang besar. Dengan penuh perhatian, sang asisten pribadi mendengarkan ucapan sang Raja dan kemudian menarik kesimpulan.

Ujarnya, “Yang Mulia, saya percaya si hamba itu belum menjadi bagian dari kelompok 99.”

“Kelompok 99? Apakah itu?” tanya sang Raja.

Kemudian, sang asisten pribadi menjawab, “Yang Mulia, untuk mengetahui apa itu Kelompok 99, Yang Mulia harus melakukan hal ini…. letakkan 99 koin emas dalam sebuah kantung dan tinggalkan kantung tersebut di depan rumah si hamba, setelah itu Yang Mulia akan mengerti apa itu Kelompok 99.”

Sore harinya, sang Raja mengatur agar si hamba memperoleh kantung yang berisi 99 koin emas di depan rumahnya. Walaupun ada sedikit keraguan muncul, dan sang Raja ingin memberikan 100 koin emas, namun ia menuruti nasihat si asisten pribadi dan tetapi meletakkan 99 koin emas.

Esok harinya, ketika si hamba baru saja hendak melangkahkan kakinya keluar rumah, matanya melihat sebuah kantung. Bertanya-tanya dalam hatinya, ia membawa kantung itu masuk ke dalam dan membukanya. Ketika melihat begitu banyak koin emas di dalamnya, ia langsung berteriak girang.. Koin emas… begitu banyak! Hampir ia tidak percaya. Kemudian ia memanggil istri dan anak-anaknya keluar memperlihatkan temuannya. Si hamba meletakkan kantung tersebut di atas meja, mengeluarkan seluruh isinya dan mulai menghitung. Hanya 99 koin emas, dan ia pun merasa aneh.. Dihitungnya kembali, terus menerus dan tetap saja, hanya 99 koin emas. Si hamba mulai bertanya-tanya, kemanakah koin yang satu lagi? Tidak mungkin seseorang hanya meninggalkan 99 koin emas. Ia pun mulai menggeledah seluruh rumahnya, mencari koin yang terakhir. Setelah ia merasa letih dan putus asa, ia memutuskan untuk bekerja lebih keras lagi untuk menggantikan 1 koin itu agar jumlahnya genap 100 koin emas.
Keesokan harinya, ia bangun dengan suasana hati yang benar-benar tidak enak, berteriak-teriak kepada istri dan anak-anaknya, tidak menyadari bahwa ia telah menghabiskan malam sebelumnya dengan bekerja keras agar ia mampu membeli 1 koin emas. Si hamba bekerja seperti biasa, tetapi tidak dengan suasana hati yang riang, bersiul-siul seperti biasanya. Dan si hamba pun tidak menyadari bahwa sang Raja memperhatikan dirinya ketika ia melakukan pekerjaan hariannya dengan bersungut-sungut.
Sang Raja bingung melihat sikap si hamba yang berubah begitu drastis, lalu memanggil asisten pribadinya masuk ke dalam ruangan. Diceritakan apa yang telah dilihatnya dan si asisten pribadinya tetap mendengarkan dengan penuh perhatian. Sang Raja bertanya, bukankah seharusnya si hamba itu lebih riang karena ia telah memiliki koin emas.

Jawab si asisten,”Ah. . tetapi, Yang Mulia, sekarang hamba itu secara resmi telah masuk ke dalam Kelompok 99.”

Lanjutnya, “Kelompok 99 itu hanyalah sebuah nama yang diberikan kepada orang-orang yang telah memiliki semuanya tetapi tidak pernah merasa puas, dan mereka terus bekerja keras mencoba mencari 1 koin emas yang terakhir agar genap 100 koin emas.

Kita harusnya merasa bersyukur dengan apa yang ada, dan kita bisa hidup dengan sedikit yang kita miliki. Tetapi ketika kita diberikan yang lebih baik dan lebih banyak, kita menghendaki lebih! Tidak menjadi orang yang sama lagi, yang puas dengan apa yang ada, tetapi kita terus menghendaki lebih dan lebih dan memiliki keinginan seperti itu kita membayar harga yang tidak kita pun sadari. Kehilangan waktu tidur, kebahagiaan, dan menyakiti orang-orang yang berada di sekitar kita hanya untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan kita sendiri. Orang-orang seperti itulah yang tergabung dalam Kelompok 99!”

Mendengar hal itu, sang Raja memutuskan bahwa untuk selanjutnya, ia akan mulai menghargai hal-hal yang kecil dalam hidup.
 
 
Taken from Secangkirteh.com on 27th November 2010

Friday, November 19, 2010

Pensil

Pada suatu sore yang teduh, seorang nenek tampak berkutat asyik dengan kegiatannya di halaman belakang sebuah rumah. Ia tampak sedang menuliskan sesuatu pada sebuah kertas. Kala itu, kemudian si cucu datang menghampiri dan bertanya, "Nenek sedang menulis apa Nek, sepertinya asyik sekali. Pensilnya baru ya Nek?"


Sambil tersenyum sabar, si nenek menjawab. "Nenek sedang menulis tentang kamu, cucu nenek yang cantik dan pintar," ucapnya penuh sayang. "Tetapi, sebenarnya ada yang lebih penting lho dari isi tulisan ini, yaitu pensil yang nenek pakai untuk menulis ini."


Si cucu sejenak merasa kebingungan mendengar penuturan nenek. Ia pun dengan saksama mengamati sesaat pensil yang ada di tangan nenek. Tak lama, si cucu berkata, "Selain pensilnya masih baru, rasanya tidak ada yang istimewa dari pensil Nenek. Memang apa hebatnya pensil Nenek dibandingkan dengan pensil yang lain?"


"Benar cucuku. Pensil nenek sama saja dengan pensil yang lain. Maksud nenek, sebatang pensil bukan hanya dinilai dari bentuk fisiknya, warna, atau panjang pendeknya, tetapi sebatang pensil sebenarnya mempunyai 5 kualitas unggulan yang bisa menjadi pedoman saat kita menjalani kehidupan ini," jelas nenek sembari mengelus lembut rambut cucu kesayangannya.


"Memangnya selain untuk menulis, kualitas apa lagi yang dipunyai oleh sebatang pensil Nek?" tanya si cucu penasaran.



"Dengarkan baik-baik ya..." ungkap nenek.


"Kualitas pertama yang perlu diperhatikan yaitu bahwa pensil dapyt menjadi pengingat kita kalau kita bisa berbuat hal yang hebat dalam hidup ini. Yakni, mengingatkan bahwa seperti sebuah pensil ketika menulis, kita tidak boleh lupa bahwa ada tangan yang selalu membimbing langkah kita dalam hidup ini. Kita menyebutnya tangan Tuhan. Dia selalu membimbing kita sesuai dengan ajaran-ajaranNya."


"Kualitas kedua, Kamu bisa memperhatikan, bahwa saat proses menulis, kita kadang beberapa kali harus berhenti dan menggunakan rautan untuk menajamkan kembali pensil kita. Rautan itu seakan membuat si pensil menderita. Tetapi setelah proses meraut selesai, si pensil akan mendapatkan ketajamannya kembali. Begitu juga dengan kehidupan manusia. Kita harus berani menerima penderitaan dan kesusahan, termasuk berbagai ujian dan tantangan, karena itu semua yang akan membuat kita menjadi manusia yang lebih baik dan berkualitas."


"Kualitas ketiga yang perlu kamu camkan adalah bahwa pensil selalu memberikan kita kesempatan untuk menggunakan penghapus sebagai upaya memperbaiki kesalahan. Oleh karena itu, memperbaiki kesalahan dalam hidup ini bukanlah hal yang jelek atau buruk. Itu bahkan membantu kita untuk tetap berada pada jalan yang benar. Hal ini sekaligus mengingatkan bahwa kita tak pernah luput dari berbagai jenis kesalahan."


"Kualitas keempat yakni tentang bagian yang paling penting dari sebuah pensil. Jika kamu perhatikan, bagian yang paling bermanfaat bukanlah bagian luarnya, melainkan arang yang ada di dalamnya. Begitu pula dengan kita. Karenanya, kita harus selalu memupuk hal-hal baik yang ada di dalam diri kita dengan terus meningkatkan kualitas dalam diri. Karena itu, kita perlu terus memupuk kekayaan mental dalam setiap tindakan kita."


"Kualitas kelima adalah bahwa harus kita sadari jika sebuah pensil selalu meninggalkan tanda/goresan. Seperti juga manusia, kita harus selalu sadar dan waspada karena apa pun yang kita perbuat dalam hidup ini akan meninggalkan kesan dan goresan. Maka berhati-hatilah dalam berpikir, berucap, dan bertindak. Sehingga, goresan yang kita tinggalkan akan menjadi guratan yang memberi manfaat bagi diri dan orang lain."


Mendengar ucapan itu, si cucu pun berterima kasih pada nenek. "Akan saya ingat terus ucapan Nenek ini. Semoga, saya juga bisa menjadi 'pensil' yang berkualitas Nek..."

Adopted from: Andrie Wongso

Tuesday, November 9, 2010

A burn mark

Yesterday, carelessly my arm touched the heating oven.. the result is of course getting a burn mark. The immediate effect was painful but after I applied some toothpaste, it was better.. Well, I expected to have a burn mark but was quite shocked when I looked at it.. quite big, showing now on my right arm..
I was a lil bit sad, coz now my perfect arm is having a burn mark. I remember what my mum usually said to me, "I gave birth to you perfectly so please take care of yours carefully".. and I sort of not be a good boy..

Because of this little accident, I actually learned two lessons:

1. Because it is very obvious on my right arm, every time I look into it, I always remember my carelessness.. and it reminds me to be more careful next time

2. It is funny because the painful only has an immediate effect but what's left after that will be attached forever. Now, let's say we do something wrong to somebody.. The person will feel pain immediately but I believe, the same person will always remember what we are doing to them - same with the burn mark, it will never disappear.

Well I guess, we all have to be careful always.. in our thoughts, words, and actions 

This is an inspiring real story from a best friend :). However, due to privacy, author's name and link to the post cannot be revealed. Thank you! 

Enjoy the story and hopefully you are inspired too :)

Monday, November 8, 2010

Cookie

Another of my patients, a successful businessmen, tells me that before his cancer he would become depressed unless things went a certain way.

Happiness was "having the cookie."

If you had the cookie, things were good. If you didn't have the cookie, life wasn't worth, a damn! Unfortunately, the cookie kept changing. Some of the time it was money, sometimes power, sometimes sex. At other times, it was the new car, the biggest contract, the most prestigious address.

A year and a half after his diagnosis of prostate cancer, he sits shaking his head ruefully.

"It's like I stopped learning how to live after I was a kid. When I give my son a cookie, he is happy. If I take the cookie away or it breaks, he is unhappy. But he is two and a half and I am forty-three. It's taken me this long to understand that the cookie will never make me happy for long. The minute you have the cookie it starts to crumble or you start to worry about it crumbling or about someone trying to take it away from you. You know, you have to give up a lot of things to take care of the cookie, to keep it from crumbling and be sure that no one takes it away from you. You may not even get a chance to eat it because you are so busy just trying not to lose it. Having the cookie is not what life is about."

My patient laughs and says cancer has changed him. For the first time he is happy. No matter if his business is doing well or not, no matter if he wins or loses at golf. Two years ago, cancer asked me, 'Okay, what's important? What is really important?' Well, life is important. Life. Life any way you can have it. Life with the cookie. Life without the cookie. Happiness does not have anything to do with the cookie, it has to do with being alive.

Taken from inspirationalstories.com (by Rachel Naomi Remen in Kitchen Table Wisdom) 

Happiness is not found outside, it is inside each of us.
It is not about being rich or poor, being the winner or loser, being respected or hated, ...

Like the cookie, are you sure it will give you the ever-lasting happiness?? 

Sunday, November 7, 2010

10 Chinese wisdoms

1. Perjalanan seribu mil diawali dengan sebuah langkah.

2. Sebuah batu permata tidak bisa dipoles tanpa gesekan, seperti halnya seorang manusia disempurnakan dengan cobaan hidup.

3. Lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan.

4. Yang bertanya seperti orang bodoh selama lima menit lebih baik daripada yang tidak bertanya, karena ia tetap bodoh selamanya.

5. Jika Anda ingin tak seorang pun mengetahuinya, jangan melakukannya.

6. Berikan seseorang seekor ikan, dan anda memberinya makan untuk sehari. Ajarkan seseorang untuk menangkap ikan, dan anda memberinya makan untuk seumur hidup.

7. Waktu terbaik untuk menanam sebuah pohon adalah dua puluh tahun yang lalu. Waktu terbaik kedua, adalah: mulailah hari ini.

8. Bila Anda ingin tahu masa lalu Anda - lihatlah kondisi Anda saat ini. Bila Anda ingin tahu masa depan Anda - lihatlah tindakan-tindakan Anda saat ini.

9. Sebuah pembicaraan dengan seorang bijak adalah lebih baik daripada sepuluh tahun menuntut ilmu.

10. Hidup sebagian adalah apa yang kita tentukan, dan sebagian lagi ditentukan oleh teman-teman yang kita pilih

Wednesday, November 3, 2010

Apakah kamu seperti anak perempuan itu?

Jalannya sudah tertatih-tatih, karena usianya sudah lebih dari 70 tahun, sehingga kalau tidak perlu sekali, jarang ia bisa dan mau keluar rumah. Walaupun ia mempunyai seorang anak perempuan, ia harus tinggal di rumah jompo, karena kehadirannya tidak diinginkan. Masih teringat olehnya, betapa berat penderitaannya ketika akan melahirkan putrinya tersebut. Ayah dari anak tersebut minggat setelah menghamilinya tanpa mau bertanggung jawab atas perbuatannya. Di samping itu keluarganya menuntut agar ia menggugurkan bayi yang belum dilahirkan, karena keluarganya merasa malu mempunyai seorang putri yang hamil sebelum nikah, tetapi ia tetap mempertahankannya, oleh sebab itu ia diusir dari rumah orang tuanya.

Selain aib yang harus di tanggung, ia pun harus bekerja berat di pabrik untuk membiayai hidupnya. Ketika ia melahirkan putrinya, tidak ada seorang pun yang mendampinginya. Ia tidak mendapatkan kecupan manis maupun ucapan selamat dari siapapun juga, yang ia dapatkan hanya cemohan, karena telahelahirkan seorang bayi haram tanpa bapa. Walaupun demikian ia merasa bahagia sekali atas berkat yang didapatkannya dari Tuhan di mana ia telah dikaruniakan seorang putri. Ia berjanji akan memberikan seluruh kasih sayang yang ia miliki hanya untuk putrinya seorang, oleh sebab itulah putrinya diberi nama Love - Kasih.

Siang ia harus bekerja berat di pabrik dan di waktu malam hari ia harus menjahit sampai jauh malam, karena itu merupakan penghasilan tambahan yang ia bisa dapatkan. Terkadang ia harus menjahit sampai jam 2 pagi, tidur lebih dari 4 jam sehari itu adalah sesuatu kemewahan yang tidak pernah ia dapatkan. Bahkan Sabtu Minggu pun ia masih bekerja menjadi pelayan restaurant. Ini ia lakukan semua agar ia bisa membiayai kehidupan maupun biaya sekolah putrinya yang tercinta. Ia tidak mau menikah lagi, karena ia masih tetap mengharapkan, bahwa pada suatu saat ayah dari putrinya akan datang balik kembali kepadanya, di samping itu ia tidak mau memberikan ayah tiri kepada putrinya.

Sejak ia melahirkan putrinya ia menjadi seorang vegetarian, karena ia tidak mau membeli daging, itu terlalu mahal baginya, uang untuk daging yang seyogianya ia bisa beli, ia sisihkan untuk putrinya. Untuk dirinya sendiri ia tidak pernah mau membeli pakaian baru, ia selalu menerima dan memakai pakaian bekas pemberian orang, tetapi untuk putrinya yang tercinta, hanya yang terbaik dan terbagus ia berikan, mulai dari pakaian sampai dengan makanan.

Pada suatu saat ia jatuh sakit, demam panas. Cuaca di luaran sangat dingin sekali, karena pada saat itu lagi musim dingin menjelang hari Natal. Ia telah menjanjikan untuk memberikan sepeda sebagai hadiah Natal untuk putrinya, tetapi ternyata uang yang telah dikumpulkannya belum mencukupinya. Ia tidak ingin mengecewakan putrinya, maka dari itu walaupun cuaca diluaran dingin sekali, bahkan dlm keadaan sakit dan lemah, ia tetap memaksakan diri untuk keluar rumah dan bekerja. Sejak saat tersebut ia kena penyakit rheumatik, sehingga sering sekali badannya terasa sangat nyeri sekali. Ia ingin memanjakan putrinya dan memberikan hanya yang terbaik bagi putrinya walaupun untuk ini ia harus bekorban, jadi dlm keadaan sakit ataupun tidak sakit ia tetap bekerja, selama hidupnya ia tidak pernah absen bekerja demi putrinya yang tercinta.

Karena perjuangan dan pengorbanannya akhirnya putrinya bisa melanjutkan studinya diluar kota. Di sana putrinya jatuh cinta kepada seorang pemuda anak dari seorang konglomerat beken. Putrinya tidak pernah mau mengakui bahwa ia masih mempunyai orang tua. Ia merasa malu bahwa ia ditinggal minggat oleh ayah kandungnya dan ia merasa malu mempunyai seorang ibu yang bekerja hanya sebagai babu pencuci piring di restaurant. Oleh sebab itulah ia mengaku kepada calon suaminya bahwa kedua orang tuanya sudah meninggal dunia.

Pada saat putrinya menikah, ibunya hanya bisa melihat dari jauh dan itupun hanya pada saat upacara pernikahan di gereja saja. Ia tidak diundang, bahkan kehadirannya tidaklah diinginkan. Ia duduk di sudut kursi paling belakang di gereja, sambil mendoakan agar Tuhan selalu melindungi dan memberkati putrinya yang tercinta. Sejak saat itu bertahun-tahun ia tidak mendengar kabar dari putrinya, karena ia dilarang dan tidak boleh menghubungi putrinya. Pada suatu hari ia membaca di koran bahwa putrinya telah melahirkan seorang putera, ia merasa bahagia sekali mendengar berita bahwa ia sekarang telah mempunyai seorang cucu. Ia sangat mendambakan sekali untuk bisa memeluk dan menggendong cucunya, tetapi ini tidak mungkin, sebab ia tidak boleh menginjak rumah putrinya. Untuk ini ia berdoa tiap hari kepada Tuhan, agar ia bisa mendapatkan kesempatan untuk melihat dan bertemu dengan anak dan cucunya, karena keinginannya sedemikian besarnya untuk bisa melihat putri dan cucunya, ia melamar dengan menggunakan nama palsu untuk menjadi babu di rumah keluarga putrinya.

Ia merasa bahagia sekali, karena lamarannya diterima dan diperbolehkan bekerja disana. Di rumah putrinya ia bisa dan boleh menggendong cucunya, tetapi bukan sebagai Oma dari cucunya melainkan hanya sebagai babu dari keluarga tersebut. Ia merasa berterima kasih sekali kepada Tuhan, bahwa ia permohonannya telah dikabulkan.

Di rumah putrinya, ia tidak pernah mendapatkan perlakuan khusus, bahkan binatang peliharaan mereka jauh lebih dikasihi oleh putrinya daripada dirinya sendiri. Di samping itu sering sekali dibentak dan dimaki oleh putri dan anak darah dagingnya sendiri, kalau hal ini terjadi ia hanya bisa berdoa sambil menangis di dlm kamarnya yang kecil di belakang dapur. Ia berdoa agar Tuhan mau mengampuni kesalahan putrinya, ia berdoa agar hukuman tidak dilimpahkan kepada putrinya, ia berdoa agar hukuman itu dilimpahkan saja kepadanya, karena ia sangat menyayangi putrinya.

Setelah bekerja bertahun-tahun sebagai babu tanpa ada orang yang mengetahui siapa dirinya dirumah tersebut, akhirnya ia menderita sakit dan tidak bisa bekerja lagi. Mantunya merasa berhutang budi kepada pelayan tuanya yang setia ini sehingga ia memberikan kesempatan untuk menjalankan sisa hidupnya di rumah jompo.

Puluhan tahun ia tidak bisa dan tidak boleh bertemu lagi dengan putri kesayangannya. Uang pension yang ia dapatkan selalu ia sisihkan dan tabung untuk putrinya, dengan pemikiran siapa tahu pada suatu saat ia membutuhkan bantuannya.

Pada tahun lampau beberapa hari sebelum hari Natal, ia jatuh sakit lagi, tetapi ini kali ia merasakan bahwa saatnya sudah tidak lama lagi. Ia merasakan bahwa ajalnya sudah mendekat. Hanya satu keinginan yang ia dambakan sebelum ia meninggal dunia, ialah untuk bisa bertemu dan boleh melihat putrinya sekali lagi. Di samping itu ia ingin memberikan seluruh uang simpanan yang ia telah kumpulkan selama hidupnya, sebagai hadiah terakhir untuk putrinya.

Suhu diluaran telah mencapai 17 derajat di bawah nol dan salujupun turun dengan lebatnya, jangankan manusia anjingpun pada saat ini tidak mau keluar rumah lagi, karena di luaran sangat dingin, tetapi Nenek tua ini tetap memaksakan diri untuk pergi ke rumah putrinya. Ia ingin betemu dengan putrinya sekali lagi yang terakhir kali. Dengan tubuh menggigil karena kedinginan, ia menunggu datangnya bus berjam-jam di luaran. Ia harus dua kali ganti bus, karena jarak rumah jompo tempat di mana ia tinggal letaknya jauh dari rumah putrinya. Satu perjalanan yang jauh dan tidak mudah bagi seorang nenek tua yang berada dlm keadaan sakit.

Setiba di rumah putrinya dlm keadaan lelah dan kedinginan ia mengetuk rumah putrinya dan ternyata purtinya sendiri yang membukakan pintu rumah gedong di mana putrinya tinggal. Apakah ucapan selamat datang yang diucapkan putrinya ? Apakah rasa bahagia bertemu kembali dengan ibunya? Tidak! Bahkan ia ditegor: "Kamu sudah bekerja di rumah kami puluhan tahun sebagai pembantu, apakah kamu tidak tahu bahwa untuk pembantu ada pintu khusus, ialah pintu di belakang rumah!"

"Nak, Ibu datang bukannya untuk bertamu melainkan hanya ingin memberikan hadiah Natal untukmu. Ibu ingin melihat kamu sekali lagi, mungkin yang terakhir kalinya, bolehkah saya masuk sebentar saja, karena di luaran dingin sekali dan sedang turun salju. Ibu sudah tidak kuat lagi nak!" kata wanita tua itu.

"Maaf saya tidak ada waktu, di samping itu sebentar lagi kami akan menerima tamu seorang pejabat tinggi, lain kali saja. Dan kalau lain kali mau datang telepon dahulu, jangan sembarangan datang begitu saja!" ucapan putrinya dengan nada kesal. Setelah itu pintu ditutup dengan keras. Ia mengusir ibu kandungnya sendiri, seperti juga mengusir seorang pengemis.

Tidak ada rasa kasih, jangankan kasih, belas kasihanpun tidak ada. Setelah beberapa saat kemudian bel rumah bunyi lagi, ternyata ada orang mau pinjam telepon di rumah putrinya "Maaf Bu, mengganggu, bolehkah kami pinjam teleponnya sebentar untuk menelpon ke kantor polisi, sebab di halte bus di depan ada seorang nenek meninggal dunia, rupanya ia mati kedinginan!"

Wanita tua ini mati bukan hanya kedinginan jasmaniahnya saja, tetapi juga perasaannya. Ia sangat mendambakan sekali kehangatan dari kasih sayang putrinya yang tercinta yang tidak pernah ia dapatkan selama hidupnya.

Disadur dari http://www.kaskus.us/showthread.php?t=5809156

Reflection
Mari tanyakan pada diri kita masing-masing, "Apakah kita sama seperti anak perempuan itu? Yang lupa akan pengorbanan dari orangtua kita untuk menjadikan diri kita seperti sekarang ini."
Apapun jawaban kalian pada pertanyaan di atas, coba katakan dalam hati yang terdalam sambil membayangkan wajah orangtua kita, "Papa, Mama terima kasih.. Di sini, aku juga meminta maaf atas kesalahan yang telah kuperbuat pada kalian. Terkadang aku hanya menuntut ego ku untuk terpenuhi tanpa peduli pada apa yang telah kalian perjuangkan untuk ku. Maafkanlah anakmu ini papa, mama!"


May all parents be well and happy always!! :)