Suatu hari, ada empat sekawan yang berjanji tekat satu sama lain untuk bermeditasi tanpa berbicara sepatah kata pun selama satu hari satu malam. Pada jam-jam pertama, semuanya tutup mulut dan meditasi berjalan sesuai rencana.
Ketika petang tiba, lampu minyak mulai kering, dan cahaya pun mulai redup. Seorang pelayan tertidur di dekat situ. Salah satu dari mereka tidak tahan untuk tidak bersuara, "Isi lampu itu!" serunya kepada si pelayan.
Orang kedua kaget mendengar suara temannya, "Hei! Kita kan tak boleh biacara!"
"Kalian berdua bodoh! Kenapa bicara?" sergah orang ketiga.
Dengan lirih orang keempat menggumam, "Cuma aku yang tidak bicara..."
Kesimpulan:
Sejak lahir, kita memiliki hasrat bawaan untuk berkomunikasi dengan orang-orang di sekitar kita. Jika digunakan dengan benar, kata-kata tentu akan banyak membantu. Akan tetapi, sering kali kita kelepasan bicara tanpa memikirkan terlebih dahulu apa yang seharusnya kita katakan atau apakah sebenarnya kita perlu bicara atau tidak.
Seperti empat sekawan tadi, kita sering berharap untuk tidak mengatakan apa yang terlanjur kita katakan. Pada saat itu, terlambat sudah, karena kata-kata yang telah dikeluarkan tak akan dapat di tarik kembali. Kita mungkin saja meminta maaf, namun kerusakan tetap saja telah terjadi.
Kita seyogianya menjadi tuan atas lidah kita. Lidah harus mengucapkan apa yang ingin kita ucapkan saja, bukannya berceloteh tak terkendali. Sayangnya, sering kali lidah-lah yang menjadi tuan dan kita menjadi budaknya; kita terpaksa mendengar apa yang lidah ucapkan atas nama kita dan sering kita tak mampu menghentikan ocehannya. Kurangnya kesadaran dan kendali semacam itu kadang dapat membawa petaka.
Kesadaran adalah kuncinya. Terlepas dari kita akhirnya memutuskan untuk bicara atau tidak bicara, sadarilah itu: sebelum, selama dan sesudahnya.
Source: "Illuminata - Be Good, Be Happy and Be Mindful", 2008
Ketika petang tiba, lampu minyak mulai kering, dan cahaya pun mulai redup. Seorang pelayan tertidur di dekat situ. Salah satu dari mereka tidak tahan untuk tidak bersuara, "Isi lampu itu!" serunya kepada si pelayan.
Orang kedua kaget mendengar suara temannya, "Hei! Kita kan tak boleh biacara!"
"Kalian berdua bodoh! Kenapa bicara?" sergah orang ketiga.
Dengan lirih orang keempat menggumam, "Cuma aku yang tidak bicara..."
Kesimpulan:
Sejak lahir, kita memiliki hasrat bawaan untuk berkomunikasi dengan orang-orang di sekitar kita. Jika digunakan dengan benar, kata-kata tentu akan banyak membantu. Akan tetapi, sering kali kita kelepasan bicara tanpa memikirkan terlebih dahulu apa yang seharusnya kita katakan atau apakah sebenarnya kita perlu bicara atau tidak.
Seperti empat sekawan tadi, kita sering berharap untuk tidak mengatakan apa yang terlanjur kita katakan. Pada saat itu, terlambat sudah, karena kata-kata yang telah dikeluarkan tak akan dapat di tarik kembali. Kita mungkin saja meminta maaf, namun kerusakan tetap saja telah terjadi.
Kita seyogianya menjadi tuan atas lidah kita. Lidah harus mengucapkan apa yang ingin kita ucapkan saja, bukannya berceloteh tak terkendali. Sayangnya, sering kali lidah-lah yang menjadi tuan dan kita menjadi budaknya; kita terpaksa mendengar apa yang lidah ucapkan atas nama kita dan sering kita tak mampu menghentikan ocehannya. Kurangnya kesadaran dan kendali semacam itu kadang dapat membawa petaka.
Kesadaran adalah kuncinya. Terlepas dari kita akhirnya memutuskan untuk bicara atau tidak bicara, sadarilah itu: sebelum, selama dan sesudahnya.
Source: "Illuminata - Be Good, Be Happy and Be Mindful", 2008
No comments:
Post a Comment